SATUKANAL.com, MALANG– Salah satu budaya di Kota Malang yang bisa dibilang lucu yaitu boso walikan (bahasa terbalik). Boso walikan sepertinya sudah menjadi identitas orang Malang untuk berbicara sehari-hari.
Bagi sebagian orang yang jarang berkunjung ke Malang, hal ini memang aneh saat mendengar mereka berbicara dengan membalik kata. Padahal sebenarnya kalimat itu masih berupa bahasa Jawa yang hanya dibalik susunan katanya.
Membolak-balikkan susunan kata dari belakang ke depan menjadi keunika bahasa Jawa di Malang. Model bahasa ini pun seakan menjadi bahasa gaul di Malang. Bahasa ini juga menjadi ciri khas di kota terbesar kedua Provinsi Jawa Timur tersebut.
Meski begitu, banyak yang tidak mengetahui asal mula kemunculan boso walikan di Malang. Dan mengapa tidak semua kata bisa dibalik pengucapannya?
Sejarah awal boso walikan
Terciptanya boso walikan bermula sejaak zaman penjajahan Belanda. Dalam perjuangan Gerilya Rakyat Kota (GRK), para pejuang khawatir pembicaraan yang mereka lakukan akan bocor ke telinga Belanda. Karena pada saat itu banyak mata-mata Belanda yang berasal dari orang pribumi.
Setelah memikirkan berbagai ide, muncullah ide membalikkan susunan kata yang disetujui oleh semua pihak. Caranya yakni dengan melafalkan sebuah kata bukan dari huruf terdepan (kiri ke kanan) seperti biasanya, melainkan dibalik dari belakang (kanan ke kiri).
Perkembangan boso walikan
Seiring berjalannya waktu, budaya boso walikan di Malang terus berkembang. Kata-kata yang awalnya sudah ada saat zaman perjuangan kemerdekaan mengalami penambahan kosa kata yang muncul usai kemerdekaan.
Beberapa kata-kata yang mungkin familiar di telinga orang Malang seperti libom, hailuk atau adapes rotom memang belum muncul saat zaman kolonial Belanda. Dan baru populer usai Indonesia merdeka. Kata kata tersebut berarti kuliah, mobil dan adapes rotom.
Perkembangan boso walikan pun tak berhenti disitu. Ada kata ebes yang merupakan modifikasi dari bahasa Arb yakni “sebeh”. Kata ini digunakan untuk menyebut orang tua laki-laki yang awalnya digunakan untuk panggilan kehormatan pada pemimpin atau komandan. Namun, lama kelamaan kata ebes berubah fungsi menjadi penyebutan pada ayah atau bapak.
Penambahan kosa kata pun terus bertambah dari era ke era hingga saat ini. seeperti halnya para millenial menggunakan bahasa Inggris yakni woles yang berarti santai saja atau pelan-pelan saja, kemudian dirubah menjadi selow.
Ada juga penambahan kata-kata yang berasal dari Bahasa Indonesia bahan bahasa gaul sekalipun. Kata-kata yang sering dijumpai menjadi tren seperti kuy yang berarti yuk, tamales yang berarti selamat, tangames yang berarti semangat, umak yang berarti kamu, ayas yang berarti saya, sabi yang berarti bisa, takis yang berarti sikat, dan masih banyak lainnya .
Aturan boso walikan
Meski terkesan mudah, penggunaan boso walikan ada aturannya. Tidak semua kata disa dibalik, ada pengecualian cara membalik untuk beberapa kata seperti kata dengan pelafalan “ng” maka akan tetap dibaca “ng”. Misalnya, bengi menjadi ingeb yang berarti malam daalam bahasa jawa. Kemudian, ngalam yang berarti Malang terkecuali untuk kata “orang” dibaca menjadi gnaro atau genaro.
Selain itu ada pula pengecualian-pengecualian dalam tata atura boso walikan. Tidak semua kata dibalik dari belakang ke depan sesuai urutan kata. Dan tidak semua kata memiliki boso walikan. Contoh, uklam yang kebalikan dari mlaku (jalan kaki), ublem kebalikan dari mlebu (masuk), ciwe kebalikan dari weci (bakwan), silup atau isilup kebalikan dari polisi, dan adapes kebalikan dari sepeda.
Pengguna boso walikan
Di Malang sendiri tidak semua kalangan kerap menggunakan boso walikan. Biasanya boso walikan akan sering ditemui pada komunitas tertentu seperti klub sepak bola Arema dengan jargonnga ongis nade atau singo edan (singa liar) sebagai identitas dari permainan pemain Arema yang liar dan berani.
Dari situlah kemudian boso walikan mulai menyebar hingga keluar kota Malang karena banyak juga suporter Arema yang berasal ari luar Kota Malang. Tak hanya itu, boso walikan juga banyak digunakan anak-anak muda asli Malang ketika melakukan obrolan sehari-hari. Tentunya, dengan penekanan yang khas sekali.
Tak jarang, penduduk luar Malang yang sebagian besar merupakan mahasiswa juga sering menggunakan boso walikan sebagai bahasa sehari-hari yang mereka gunakan. Meskipun, dengan logat dan nada yang berbeda dari pengucapan orang Malang asli.
Pewarta: Adinda
Editor: Redaksi Satukanal